Mengamati Komet Pan-STARRS (C/2011 L4)

Anda belum berhasil juga dalam memburu komet Pan-STARRS? Jangan dulu kecewa, karena masih ada momen terbaik kedua, selain tanggal 10 Maret lalu, dalam mengamati komet ini. Waktu terbaik itu adalah pada tanggal 13 Maret 2013 nanti saat di dekat komet Pan-STARRS ada bulan sabit dan diperkirakan ekor komet akan melengkung sampai ke dekat posisi bulan sabit berada. Akan menjadi foto yang indah jika saatnya nanti Anda bisa memotret keduanya dalam satu citra 🙂

Minggu-minggu ini penduduk Bumi kedatangan salah satu komet paling terang dan ditunggu di tahun ini, yaitu komet C/2011 L4 atau lebih dikenal dengan nama komet Pan-STARRS. Bintang berekor yang pertama kali ditemukan oleh tim astronom di Hawaii, Amerika Serikat dengan teleskop Pan-STARRS pada Juni 2011 ini, berada di dekat Matahari pada 10 Maret 2013 dengan tingkat kecerlangan 0,53 magnitudo. Dengan tigkat kecerlangan yang hampir setara dengan bintang Betelgeuse di rasi Orion itu, menjadikan komet ini dapat diamati dengan mata tanpa bantuan alat. Selain itu, diperkirakan juga komet ini memiliki periode 110.000 tahun sehingga mengamati komet ini pada saat ini bisa jadi merupakan kesempatan emas yang hanya terjadi sekali seumur hidup.

Di Indonesia, waktu terbaik untuk mengamati komet ini adalah sejak awal hingga pertengahan Maret ini. Pada tanggal-tanggal tersebut, komet ini cukup tinggi dan cerlang hingga dapat disaksikan pada petang hari setelah Matahari terbenam hingga sekitar sejam setelahnya. Meskipun komet ini telah melewati titik perihelionnya pada 10 Maret lalu, masih ada kesempatan bagi para pemburu komet di Indonesia hingga akhir minggu ini, khususnya hingga tanggal 13 nanti.

Pada tanggal 11 Maret ini, posisi komet ini sudah berada sekitar empat derajat sebelah Utara posisi terbenam Matahari dengan ketinggian sekitar 15 derajat.  Ekor kometnya yang indah akan tampak menjulang ke atas dan agak ke Utara dengan dengan panjang bisa mencapai sekitar lima derajat. Adapun tingkat kecerlangan kometnya sekitar 0,57, yang hanya sedikit di bawah saat komet ini di perihelionnya. Pada tanggal ini posisi komet PanSTARRS berada di rasi Cetus. Di bawah komet, sekitar 7 derajat, ada objek berwarna merah menyala yang saat ini banyak dikaji sebagai “rumah masa depan“ manusia, yaitu planet Mars.

Keesokan harinya, yaitu tanggal 12 Maret, pemburu komet akan disuguhi juga dengan fenomena lain, yaitu bulan sabit paling tipis dan lebih dikenal dengan nama Hilal. Pada tanggal ini, posisi komet adalah pada ketinggian sekitar 14 derajat dan berada di sebelah Utara posisi Matahari terbenam sekitar enam derajat, dengan tingkat kecerlangan sebesar 0,67 magnitudo. Dari posisi komet, Hilal tersebut berada sekitar sepuluh derajat di bawah komet dan sekitar dua derajat di sebelah Utaranya. Karena itu, jika dimungkinkan, pada tanggal ini komet Pan-STARRS, Hilal dan planet Mars dapat dipotret dalam satu citra yang sama.

Jika hal di atas tidak dapat dilakukan, keesokan harinya kesempatan yang lebih baik akan hadir. Pada tanggal 13 Maret, bulan sabit sudah cukup tinggi, yaitu sekitar 14,5 derajat dan akan berada di sebelah Utara dan atas komet. Posisi komet sendiri pada saat Matahari terbenam sudah sedikit menurun dibanding hari sebelumnya, yaitu sekitar 13,5 derajat, dan sudah semakin jauh di sebelah Utara dibandingkan posisi terbenam Matahari pada hari itu, yaitu sekitar 8 derajat. Adapun kecerlangan kometnya menjadi 0,8 magnitudo. Pada hari inilah kesempatan terbaik untuk merekam citra komet dan bulan sabit dalam satu citra yang sama, mengingat ekor kometnya diperkirakan akan melengkung sampai ke dekat posisi bulan sabit berada.

Pan-STARRS 13 Maret 2013
Ilustrasi posisi komet Pan-STARRS pada 13 Maret 2013 saat Matahari terbenam di Jakarta dengan menggunakan perangkat lunak Stellarium.

Sebenarnya, hingga beberapa hari sesudah tanggal 13 itu, komet ini masih mungkin untuk diamati. Posisinya sendiri sudah semakin jauh di Utara titik Matahari terbenam dan sudah semakin di dekat horizon. Tingkat kecerlangannya yang sudah semakin jauh menurun dibanding kecerlangan pada hari-hari sebelumnya. Tentu saja kondisi ini akan semakin menyulitkan pengamat untuk mengenali komet Pan-STARRS tersebut.

Karena itu, untuk memburu kesempatan emas mengamati komet Pan-STARRS tersebut diperlukan beberapa persiapan matang. Persiapan paling utama adalah penentuan lokasi pengamatan, yaitu idealnya terbebas dari polusi cahaya dan ke arah horizon Barat tidak terhalang apapun. Jika pun tidak terpenuhi, sebaiknya di sekitar horizon Barat tidak terlalu terang oleh polusi cahaya karena akan menyulitkan proses pengamatan. Terlebih posisi komet yang di dekat horizon dengan langit yang masih agak terang akibat cahaya Matahari yang terbiaskan oleh atmosfer.

Persiapan lain yang tidak kalah pentingnya adalah memperoleh informasi cuaca yang valid, khususnya prediksi cuaca pada saat pengamatan akan dilakukan. Terlebih, pada bulan-bulan pancaroba sekarang, yang kondisi cuacanya cepat sekali berubah, walaupun hanya dalam hitungan menit. Karena itu, sebaiknya penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan memperhitungkan kemungkinan kondisi cuaca di lokasi tersebut pada saat petang.

Selain kedua hal penting di atas, persiapan lain yang diperlukan adalah alat bantu pengamatan, misalnya binokuler atau teleskop. Hal ini agar dalam keterbatasan waktu yang ada komet Pan-STARRS itu dapat dikenali dengan cepat. Adapun sisa waktunya dapat digunakan untuk merekam citra komet tersebut. Dalam hal perekamannya, kamera DSLR merupakan pilihan terbaik dengan lensa yang digunakan bergantung pada kebutuhan. Jika komet ingin direkam sekaligus dengan pemandangan di horizon Barat atau citra langit senja, lensa dengan panjang fokus kurang dari 200 mm bisa menjadi pilihan. Sebaliknya, lensa dengan panjang fokus lebih dari 200 mm atau bahkan teleskop dapat digunakan jika citra kometnya saja yang akan direkam. Selain itu, perlu diusahakan juga tempat dudukan kamera, misalnya tripod, agar kamera tetap stabil jika diharuskan merekam citra komet dengan kecepatan rana (shutter speed) lebih lama dari 1 detik. Adapun jika ingin melakukan pemotretan dengan hasil akhir berupa penggabungan (stacking) citra-citra dengan kecepatan rana tertentu, sebaiknya digunakan dudukan yang dapat mengikuti gerakan harian komet tersebut.

Setelah semua peralatan dipersiapkan, kini saatnya memasuki medan pengamatan. Sebaiknya pengamatan dilakukan sebelum Matahari terbenam, agar medan pengamatan dikuasai dengan baik dan posisi terbenam Matahari pun diketahui. Titik terbenamnya Matahari itu dapat dijadikan sebagai titik acuan utama dalam mengenali posisi komet Pan-STARRS. Dari titik acuan itu, arahkan pandangan ke atas sekitar 15 derajat. Cara paling mudah untuk melakukan hal ini adalah dengan mengarahkan tangan yang dikepalkan ke depan mulai dari titik terbenam Matahari itu hingga ke posisi komet berada. Dengan asumsi satu kepalan tangan sebesar 5 derajat, maka posisi komet tersebut adalah di kepalan ketiga. Untuk memperkirakan posisi komet pada tanggal 11 dan 12 Maret 2013, arahkan kepalan tangan ke sebelah Utara satu kali. Di situlah posisi komet berada. Pencarian posisi komet ini paling mudah akan terjadi pada tanggal 13 mengingat bulan sabit, yang sudah cukup terang dibanding hari sebelumnya, cukup dekat dengan posisi komet berada.

Jika dalam sepuluh menit pertama setelah Matahari terbenam, komet belum dikenali, sebaiknya jangan dulu kecewa. Sesaat setelah Matahari terbenam, cahaya langit senja masih terang sehingga citra komet akan masih sulit dibedakan dari langit senja. Karena itu, sebaiknya pencarian terus dilakukan sembari menunggu langit agak gelap dan dimungkinkannya untuk mengenali komet. Dalam hal ini, sebaiknya diperhitungkan juga bahwa komet, sebagaimana benda astronomis lainnya, akan terbit dan terbenam. Karena itu setelah beberapa menit, posisinya akan lebih rendah dibandingkan saat Matahari terbenam. Dengan perhitungan kasar satu derajat sebanding dengan empat menit, jika setelah sepuluh menit komet belum dikenali, arahkan pencarian komet ke posisi sekitar 2,5 derajat lebih rendah dibanding posisinya saat Matahari terbenam. Setelah posisi komet diketahui, kini saatnya menikmati keindahan bintang berekor tersebut plus merekam citranya, jika diperlukan.

Sebagai ilustrasi komet Pan-STARRS, pada gambar di bawah ditampilkan citra komet Pan-STARRS yang berhasil dipotret oleh penulis pada tanggal 7 Maret 2013 lalu di Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi pengamatan yang dipilih ini, bukanlah lokasi ideal karena terletak di pusat kota Cilacap dan di sebelah Baratnya banyak lampu jalan raya. Karena itu untuk meminimalisir efek polusi cahaya itu dipilih pepohonan sebagai penapisnya. Proses pencarian komet tersebut dilakukan sebagaimana diuraikan di atas, yaitu dengan kepalan tangan saja. Setelah posisi komet diketahui, dilakukanlah perekaman.

Kamera yang digunakan untuk merekam komet Pan-STARRS ini adalah Canon 60D dengan lensa berpanjang fokus 200 mm. Adapun ISO yang digunakan adalah 3200 dengan bukaan lensa (aperture) f/6,3 dan kecepatan rana (shutter speed) 1 detik. Citra komet ini diambil pada pukul 18:46 WIB, yaitu 48 menit setelah Matahari terbenam di lokasi pengamatan.

Berdasarkan perhitungan, saat komet difoto, ketinggiannya sekitar 3,5 derajat dari horizon. Karena itu, dalam citra ini komet, yang berada di tengah foto dan berwarna putih agak kekuningan, hampir terhalang oleh pepohonan. Dalam citra ini pula, arah Utara berada di sebelah kanan citra. Sebagaimana terlihat, ekor komet agak ke sebelah Selatan dan atas. Hal ini menunjukkan bahwa, pada saat difoto, komet berada di sebelah Selatan-atas Matahari, mengingat ekor komet yang selalu menjauhi posisi Matahari.

Selamat berburu komet Pan-STARRS dan semoga langit cerah!

Komet Pan-STARRS yang berhasil diamati Penulis di Cilacap pada 7 Maret 2013
Komet Pan-STARRS yang berhasil diamati Penulis di Cilacap pada 7 Maret 2013 (foto telah di-crop)

Gerhana Bulan Total 10 Desember 2011

Salah satu peristiwa alam yang tidak boleh dilewatkan akan kembali terjadi pada 10 Desember 2011 nanti. Ya, peristiwa itu adalah Gerhana Bulan Total 10 Desember 2011. Peristiwa terhalanginya cahaya Matahari oleh Bumi sehingga tidak semuanya sampai ke Bulan ini dapat disaksikan dari Indonesia pada awal malam 10 Desember nanti. Peristiwa gerhana Bulan sendiri hanya pada saat Bulan dalam fase purnama. Selain gerhana Bulan, ada juga gerhana Matahari yang selalu terjadi pada saat fase bulan baru. Kedua gerhana ini dapat diprediksi, baik waktu terjadinya maupun macam gerhananya.

Prosesi gerhana dapat terjadi akibat dinamisnya pergerakan posisi Matahari, Bumi dan Bulan. Sudah diketahui bahwa di tata surya ini hanya Matahari yang bersinar, sementara planet-planet dan satelitnya dapat dianggap hanya bercahaya saja (memantulkan cahaya Matahari yang diterimanya). Pada saat cahaya Matahari mengenai Bumi, bagian yang tercahayai tersebut dalam kondisi siang, sementara yang tidak tercahayai berada dalam kondisi malam. Nah, karena kita juga tahu bahwa setiap benda yang tercahayai akan menghasilkan bayangan, hal yang sama terjadi juga pada saat Bumi tercahayai oleh Matahari. Bayangan yang dihasilkan inilah yang nantinya disebut bagian umbra dan penumbra. Bagian umbra adalah bayangan yang gelap, sementara bagian penumbra adalah bagian baayangan yang agak terang jika dibandingkan dengan umbra. Hal ini diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Skematik dinamisnya pergerakan Bulan, Bumi dan Matahari. Gambar tidak berskala. Gambar dari http://www.timeanddate.com/eclipse/partial-lunar-eclipse-2008.html

Berdasarkan apakah Bulan memasuki penumbra dan/atau umbra Bumi pada saat terjadi gerhana itulah gerhana Bulan dibagi menjadi tiga macam. Hal ini diilustrasikan juga pada Gambar 2 di bawah. Pembagian tersebut adalah:

  1. Gerhana Bulan Penumbra (GBP) akan terjadi jika Bulan hanya memasuki bagian penumbra Bumi dan tidak memasuki bagian umbranya
  2. Gerhana Bulan Sebagian (GBS) akan terjadi jika hanya sebagian dari piringan Bulan yang memasuki bagian umbra Bumi
  3. Gerhana Bulan Total (GBT) akan terjadi jika seluruh piringan Bulan memasuki bagian umbra Bumi.

Adapun Gerhana Matahari dibagi menjadi gerhana matahari sebagian (GMS), gerhana matahari cincin (GMC), gerhana matahari total (GMT) dan gerhana matahari hybrid (GMH) yang merupakan gerhana gabungan antara GMC dengan GMT.

Gambar 2. Tipe-tipe Gerhana Bulan. Gambar dari http://www.astronomia.org/eclipses.en.html

Pada tahun 2011 ini sendiri terjadi empat kali Gerhana Matahari Sebagian (GMS), yaitu tanggal 4 Januari 2011, 1 Juni 2011, 1 Juli 2011 dan 25 November 2011 dan dua kali Gerhana Bulan Total, yaitu pada 15 Juni 2011 dan 10 Desember 2011. Sayangnya, keempat gerhana Matahari tersebut tidak dapat disaksikan dari wilayah Indonesia. Sementara GBT terjadi pada 15 Juni 2011  dapat diamati pada 16 Juni 2011 dini hari di Indonesia dan GBT 10 Desember 2011 dapat diamati pada awal malam tanggal 10 Desember 2011 dari Indonesia.

Prosesi GBT 10 Desember 2011 diilustrasikan pada gambar 3 di bawah. Menurut situs http://eclipse.gsfc.nasa.gov/OH/OH2011.html#LE2011Dec10T, fase-fase GBT 10 Desember 2011 sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3 adalah:

  1. Gerhana Penumbra mulai (P1)      : 11:33:36 UT = 18:33:36 WIB;
  2. Gerhana Sebagian mulai (U1)         : 12:45:43 UT = 19:45:43 WIB;
  3. Gerhana Total mulai (U2)                : 14:06:16 UT = 21:06:16 WIB;
  4. Puncak Gerhana Total                       : 14:31:49 UT = 21:31:49 WIB;
  5. Gerhana Total berakhir (U3)          : 14:57:24 UT = 21:57:24 WIB;
  6. Gerhana Sebagian berakhir (U4)   : 16:17:58 UT = 23:17:58 WIB;
  7. Gerhana Penumbra berakhir (P4) : 17:29:57 UT = 00:29:57 WIB (11 Desember 2011).

Secara keseluruhan, durasi gerhana dari fase Gerhana Penumbra mulai (P1) ke Gerhana Penumbra berakhir (P4) adalah 5 jam 56 menit 21 detik. Adapun dari fase Gerhana Sebagian mulai (U1) hingga Gerhana Sebagian berakhir (U4) berlangsung selama 3 jam 32 menit 15 detik. Sementara durasi totalitas sendiri, yaitu dari fase Gerhana Total mulai (U2) hingga Gerhana Total berakhir (U3), berlangsung selama 51 menit 8 detik. Dari urutan fase-fase gerhana tersebut, kita dapat mengatakan bahwa jika kita ingin melihat gerhana, maka menghadaplah ke arah Timur. Ini karena bagi penduduk di Indonesia, prosesi gerhananya terjadi pada saat awal malam hingga tengah malam.

Gambar 3. Ilustrasi Proses GBT 10 Desember 2011. Gambar dari http://eclipse.gsfc.nasa.gov/OH/OHfigures/OH2011-Fig06.pdf


Dari prosesi-prosesi tersebut, saat Bulan memasuki penumbra Bumi, berkurangnya cahaya Bulan akan sulit dideteksi jika hanya diamati dengan mata tanpa bantuan alat. Proses yang lebih dramatis akan terjadi saat Bulan mulai memasuki bagian umbra Bumi. Pada saat tersebut, sebagian Bulan akan terang, sementara sebagian lainnya agak gelap. Adapun pada saat keseluruhan Bulan berada di umbra Bumi, hal paling dramatis terjadi, yaitu Bulan akan menjadi terlihat semerah darah. Penyebab hal ini terjadi karena adanya atmosfer Bumi yang membiaskan dan menghamburkan cahaya yang berasal dari Matahari. Hanya cahaya pada panjang gelombang merah saja yang diteruskan atmosfer Bumi ke Bulan, sehingga Bulan pun berwarna merah, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Bulan saat puncak Gerhana Bulan Total 16 Juni 2011. Credit: Ratna dan Pupung.


Saat puncak gerhana juga kita dapat menyaksikan keindahan rasi-rasi bintang termasuk bintang-bintang terangnya, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5 di bawah. Ini terjadi karena saat puncak gerhana, kecerlangan Bulan meredup sehingga bintang-bintang dapat diamati dengan indahnya. Pada saat GBT 10 Desember 2011 tersebut, Bulan sedang berada di rasi Taurus yang di sana ada bintang terang bernama Aldebaran. Sementara di sekitar Rasi Taurus ada Rasi Orion atau si Pemburu yang dengan bintang terang berwarna merah, Betelgeuse, juga yang berwarna biru, Rigel. Menurut para astronom, kedua bintang ini adalah bintang maharaksasa yang massanya adalah ratusan bahkan ribuan kali massa Matahari kita. Pada jaman dulu, masyarakat Jawa menggunakan rasi si Pemburu ini untuk panduan bercocok tanam.

Di Sebelah kanan rasi Orion terdapat rasi Canis Mayor yang terkenal dengan bintang paling terang di langit malam, yaitu Sirius. Pada jaman dulu, karena terangnya bintang ini ada sebagian orang yang menyembahnya. Bintang Sirius juga dulu pernah digunakan oleh masyarakat Mesir dalam menentukan masa bercocok tanam. Sementara itu di sebelah bawah Bulan ada rasi si kembar alias Gemini, Canis Minor dengan bintang terangnya, yaitu Procyon, dan rasi Auriga dengan bintang terangnya, Capella.

Gambar 5. Ilustrasi posisi Bulan pada saat puncak GBT 10 Desember 2011, menggunakan perangkat lunak Stellarium v0.11.0.


Itulah posisi Bulan pada saat puncak GBT 10 Desember 2011. Tentu kita ingin mengetahui, dari lokasi di mana sajakah di Bumi ini kita dapat mengamati GBT 10 Desember 2011 ini? Jawabannya adalah di daerah yang pada saat GBT tersebut terjadi, daerahnya sedang dalam fase malam hari. Tepatnya hal ini ditunjukkan pada gambar 6 berikut. Sebagaimana terlihat, GBT 10 Desember 2011 dapat diamati dari wilayah Australia, Asia, Eropa, Sebagian besar Afrika dan Amerika Utara. Sementara pengamat di Amerika Selatan tidak dapat menyaksikannya. Jadi, jika kita berada di Indonesia maka kita dapat menyaksikan keseluruhan fase gerhana tersebut! Selamat menikmati Gerhana Bulan Total 10 Desember 2011 dan semoga langit cerah 🙂

Gambar 6. Lokasi di muka Bumi yang dapat menyaksikan GBT 10 Desember 2011. Gambar dari http://eclipse.gsfc.nasa.gov/OH/OHfigures/OH2011-Fig06.pdf


Tiga Pilar Kosmologi Standar

Sekarang, kosmologi bukan lagi sekadar teori-teori spekulatif tentang asal-usul, evolusi, komposisi, dan struktur alam semesta ini. Ia sudah merupakan ilmu pengetahuan yang didukung beragam hasil observasi astronomis, juga hasil-hasil eksperimen fisika yang berkaitan. Bahkan, sebagian kalangan ahli kosmologi mengatakan, saat ini adalah eranya kosmologi presisi, yaitu era ketika data-data astronomis melimpah dengan tingkat kepresisian yang semakin tinggi.

Banyak hasil observasi yang mendukung teori-teori yang diajukan. Ada juga yang mengentakkan para ilmuwan, alam semesta ini belum sepenuhnya terpahami. Bahkan mendorong mereka untuk terus menformulasikan aturan-aturan atau teori-teori yang memerikan alam semesta ini.

Salah satu teori yang diajukan untuk menjelaskan alam semesta ini adalah model kosmologi big bang. Model kosmologi ini pertama kali diajukan seorang ilmuwan Rusia, A. A. Friedmann, dan secara terpisah seorang pendeta-ilmuwan Belgia, G. Lemaitre. Model kosmologi yang mereka ajukan merupakan salah satu solusi teori relativitas umum Einstein. Dalam teorinya ini, Einstein menyatakan hubungan kelengkungan ruang-waktu dengan sumber medan yang mengisi ruang-waktu tersebut.

Dalam kalimat lain, A. Eddington, seorang ilmuwan yang membuktikan kesahihan prediksi teori relativitas umum Einstein lewat gerhana matahari pada 1919, menyatakan, materi memberi tahu ruang untuk melengkung, dan ruang menuntun materi untuk bergerak. Teori relativitas umum Einstein ini lebih umum daripada teori gravitasinya Newton, karena ia dapat berlaku baik pada benda yang bergerak mendekati kecepatan cahaya maupun pada benda diam.

Itulah sandaran pertama model kosmologi big bang. Sandaran lainnya adalah prinsip kosmologi. Prinsip ini menyatakan, di alam semesta ini seluruh materi terdistribusi merata atau homogen dan penampakannya akan tetap sama atau isotropis dari manapun kita memandang. Meskipun kita melihat adanya bulan, bintang-bintang, bahkan galaksi-galaksi, namun dalam skala alam semesta semua itu dapat dianggap sebagai debu alam semesta.

Layaknya sebuah bangunan, model kosmologi big bang dibangun di atas pondasi tersebut. Sketsa dasarnya adalah pada prediksi-prediksinya. Menurut model ini, alam semesta mestilah mengembang, dimulai dari keadaan yang sangat padat (kerapatannya sangat tinggi) dan sangat panas pada masa lalu yang jangka waktunya berhingga dari sekarang. Ini berarti masa lalu alam semesta ada batasnya, yang diyakini sebagai asal mula pengembangan alam semesta ini, yaitu big bang.

Dari kata inilah nama model kosmologi ini kita kenal sekarang. Nama lainnya adalah model kosmologi FLRW, sebagai penghormatan kepada ilmuwan-ilmuwan yang membahas model kosmologi ini pada awal-awal abad ke-20. Mereka adalah Friedmann, Lemaitre, Robertson, dan Walker.

 

Gambaran evolusi alam semesta setelah terjadinya Big Bang menurut model kosmologi standar.

Gambar dari http://background.uchicago.edu/~whu/SciAm/timeline_small.jpg

**

KETIKA alam semesta mengembang, kerapatan alam semesta ini terus menurun. Begitu juga dengan temperaturnya. Saat itulah terjadi peristiwa-peristiwa fisis di alam semesta. Peristiwa-peristiwa fisis inilah yang sampai sekarang ini terus diobservasi para ilmuwan. Dari sekian banyak observasi yang dilakukan, ternyata model kosmologi big bang ini mampu mengakomodasinya. Dengan kata lain, hasil-hasil observasi tersebut menjadi menyokong model ini, sehingga ia banyak dijadikan sebagai model standar untuk memerikan alam semesta ini.

Dari sekian banyak hasil observasi itu, setidaknya ada tiga yang menjadi pilar utama model ini. Prediksi model kosmologi big bang dan ketiga pilar tersebut adalah:

1. Pengembangan Alam Semesta (Hukum Hubble)

Untuk memudahkan bagaimana alam semesta ini mengembang, tiuplah sebuah balon yang telah ditulisi dengan titik-titik yang tersebar merata di permukaannya. Apakah yang terjadi? Ya, balon tersebut mengembang dan titik-titik itu semakin menjauhi satu sama lain. Padahal titik-titik tersebut tidak bergerak. Apakah penyebabnya? Karena balon tersebut mengembang.

Sekarang, analogikanlah balon yang mengembang itu sebagai alam semesta yang mengembang dan titik-titik di permukaan balon tersebut sebagai galaksi-galaksi. Dari analogi ini kita dapat menyimpulkan, ketika alam semesta mengembang, jarak pisah setiap galaksi dengan galaksi lain akan semakin membesar. Inilah yang diamati Edwin P. Hubble, seorang astronom Amerika pada dekade 1920-an.

Selain itu, Hubble juga mendapati, semakin jauh jarak dua galaksi, laju menjauhnya pun semakin besar, dengan nilai yang sebanding dengan jaraknya. Inilah yang sekarang dikenal dengan nama hukum Hubble.

Dari hukum Hubble tersebut lahirlah suatu parameter yang menyatakan laju pengembangan alam semesta saat tertentu, yang disebut parameter Hubble. Nilainya pada saat tertentu itulah yang disebut konstanta Hubble, yang pada saat ini besarnya adalah sekira 72 km/det/Mpc. Arti nilai ini adalah dalam satu detik, akibat pengembangan alam semesta pertambahan jarak dua galaksi yang pada awalnya terpisah sejauh 1 Mpc adalah sekira 72 km. (1 Mpc adalah jarak yang ditempuh cahaya yang memiliki laju 300.000 km/det selama 3,26 juta tahun).

Dari konstanta Hubble ini, kita dapat mengetahui usia kosmik alam semesta saat ini, yaitu sekira 14 miliar tahun, dan radius alam semesta yang dapat diamati saat ini, yaitu sekira 4.100 Mpc. (Silakan bandingkan dengan usia manusia yang mungkin hanya 63 tahunan dan tingginya tidak jauh dari 2 meter).

Pada prinsipnya, konstanta Hubble merupakan perbandingan laju menjauh suatu objek dengan jaraknya dari pengamat. Laju menjauh suatu objek dapat diketahui dengan membandingkan letak spektrum yang mencirikan objek tersebut dari pengamatan dan letak spektrum itu di buku panduan. Sedangkan jaraknya dari pengamat dapat diketahui dengan banyak cara, yang mungkin namanya pun masih asing untuk kita. Misalnya bintang variabel cepheid (yang dahulu digunakan Hubble), efek lensa gravitasi, efek Sunyaev-Zeldovich, supernova tipe Ia jauh, dan relasi Tully-Fisher. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu hal yang pasti, hasil-hasil observasinya menginspirasikan, penyebab semakin menjauhnya objek-objek di langit adalah alam semesta saat ini memang sedang mengembang.

Namun, apakah alam semesta saat ini mengembang dengan laju konstan, diperlambat, ataukah dipercepat? Ternyata hasil observasi supernova tipe Ia jauh dan variasi temperatur CMBR menunjukkan, alam semesta ini mengembang dipercepat. Selain menyingkirkan anggapan diperlambatnya pengembangan alam semesta saat ini, hasil ini juga membuktikan, nilai parameter Hubble tidak tetap selamanya. Namun, hasil ini juga menimbulkan pertanyaan baru, apakah penyebab alam semesta sekarang mengembang dipercepat? Pertanyaan inilah yang sampai sekarang sedang dicoba jawab para ilmuwan.

2. Kelimpahan Unsur-unsur Ringan di Alam Semesta

Sebagaimana telah diuraikan, ketika alam semesta mengembang temperaturnya terus menurun (Menurut perhitungan kerapatan sebanding dengan temperatur pangkat empat. Karena itu, untuk selanjutnya cukup dibahas temperaturnya). Apakah konsekuensi hal ini? Dalam ‘The Early Universe’, E. W. Kolb dan M. S. Turner menguraikan, sebelum usia kosmik 0,01 detik setelah big bang, temperatur alam semesta lebih tinggi dari seratus miliar Kelvin. Apakah yang terjadi pada temperatur setinggi itu?

Marilah kita didihkan sejumlah air. Ketika temperaturnya naik dan mencapai titik didihnya, wujud air akan berubah menjadi uap air. Jika temperaturnya dinaikkan lagi hingga keadaan tertentu, uap air itu akan terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Lalu apakah yang terjadi jika temperaturnya terus dinaikkan lagi? Akan diperoleh suatu wujud zat baru, di mana para ilmuwan menyebutnya sebagai plasma.

Contoh plasma adalah pada matahari kita. Di dalam matahari, temperaturnya bisa lebih tinggi dari 5.000 K. Apapun yang berada pada temperatur tersebut akan berwujud plasma. Di sana atom-atom hidrogen bisa terurai menjadi inti atom dan elektron. Begitulah, penguraian inti atom menjadi partikel-partikel elementer akan terjadi jika temperatur terus dinaikkan lagi.

Nah, partikel-partikel elementer itulah yang ada ketika temperatur alam semesta lebih tinggi dari ratusan miliar Kelvin. Urutan yang terbalik, yaitu partikel-partikel elementer membentuk partikel-partikel yang lebih berat, akan terjadi ketika temperatur alam semesta terus menurun.

Menurut perhitungan yang sudah dibuktikan sejumlah eksperimen fisika, partikel-partikel yang mendominasi alam semesta saat usia kosmik sekira 0,01 detik setelah big bang adalah elektron, antipartikelnya yaitu positron, partikel cahaya yaitu foton, neutrino, antipartikelnya yaitu antineutrino, serta sejumlah kecil neutron dan proton. Mereka semua berada dalam temperatur yang sama (para ilmuwan biasa menyebutnya berada dalam kesetimbangan termal). Dalam keadaan ini, penghancuran dan pembentukan partikel-partikel tersebut atau yang menghasilkan partikel lain berlangsung seimbang.

Kemudian, ketika usia kosmik mencapai sekira 0,74 detik setelah big bang, temperatur alam semesta menurun menjadi sekira 10 miliar Kelvin. Saat itulah temperatur neutrino dan antineutrino mulai berbeda dengan partikel yang lain. Pada temperatur sekira itulah neutron meluruh menjadi proton dan partikel lain, sehingga jumlah proton menjadi lebih banyak daripada neutron dibandingkan sebelumnya.

Selanjutnya, temperatur alam semesta terus menurun hingga mencapai beberapa miliar Kelvin. Pada saat usia kosmik sekira 4,12 detik setelah big bang, reaksi elektron dan positron memperlambat penurunan temperatur alam semesta dan menyisakan sejumlah kecil elektron. Neutron pun terus meluruh menjadi proton. Selain itu pembentukan inti helium-4 dari neutron dan proton menjadi lebih banyak daripada penghancurannya.

Ada tiga contoh rantai reaksi pembentukan inti helium-4 ini. Pertama, neutron dan proton bereaksi membentuk deuterium. Selanjutnya deuterium ini bereaksi dengan deuterium membentuk tritium dan proton. Kemudian tritium bereaksi dengan deuterium untuk membentuk helium-4 dan neutron. Kedua, neutron dan proton bereaksi membentuk deuterium. Lalu deuterium bereaksi dengan deuterium membentuk helium-3 dan neutron. Lalu helium-3 bereaksi dengan deuterium menghasilkan helium-4 dan proton. Proton dan neutron yang dihasilkan pada kedua rantai reaksi ini dapat digunakan lagi pada reaksi lain. Ketiga, neutron dan proton bereaksi membentuk deuterium. Lalu deuterium bereaksi dengan deuterium membentuk helium-4 dan foton. Selain reaksi-reaksi tersebut ada juga reaksi-reaksi lain, misalnya yang mengakibatkan terbentuknya lithium-7.

Demikianlah gambaran sederhana peristiwa yang terjadi sampai sekira tiga menit pertama setelah big bang. Setelah tiga menit pertama itu, alam semesta didominasi foton, sejumlah kecil elektron dan inti atom unsur-unsur ringan, serta neutrino-antineutrino yang temperaturnya sudah berbeda. Peristiwa yang menghasilkan inti unsur-unsur ringan tersebut dikenal dengan nama big bang nucleosynthesis. Para pionir dalam bidang ini adalah Gamow, Alpher, dan Herman yang mempublikasikan prediksi mereka pada era 1940-an dan 1950-an. Kerja mereka ini dilanjutkan ilmuwan lain dengan perhitungan yang lebih mendetail.

Sampai sekarang, tingkat akurasi perhitungan tersebut sangat tinggi, dengan kemungkinan kesalahan sekira 1aja. Kelimpahan unsur-unsur ringan yang mereka perkirakan adalah dalam sepuluh miliar inti atom hidrogen, ada ratusan ribu deuterium, ratusan ribu helium-3, dan beberapa lithium-7 yang berasal dari big bang nucleosynthesis. Sedangkan untuk helium-4 adalah sekira 24ari total materi biasa yang ada di alam semesta ini.

3. Kosmik Menua, Temperatur Menurun

SETELAH terjadinya big bang nucleosynthesis, temperatur alam semesta terus menurun, alam semesta semakin luas, dan usia kosmik semakin tua. Namun, menurut para ilmuwan, tidak ada peristiwa-peristiwa fisik yang berarti setelah itu hingga radiasi terlepas dari materi.

Marilah kita bahas sekilas mengenai kerapatan materi dan radiasi ini. Menurut para ilmuwan, di dalam plasma terdapat dua komponen dominan yang saling berinteraksi dan memengaruhi kerapatan plasma tersebut. Komponen yang pertama adalah materi, contohnya inti atom dan elektron, dan komponen yang kedua adalah radiasi, yaitu cahaya. Semakin tinggi temperatur plasma, semakin kuat pengaruh kerapatan radiasi. Sebaliknya, semakin rendah temperatur plasma, semakin kuat pengaruh kerapatan materi. Pada saat usia kosmik kurang dari sekira 60.000 tahun setelah big bang, para ilmuwan meyakini alam semesta ini didominasi radiasi dan setelahnya didominasi materi. Namun, meskipun alam semesta sudah didominasi materi, radiasi masih berinteraksi dengannya hingga saat tertentu. Contoh interaksi radiasi dengan materi adalah tumbukan antara foton dengan elektron atau tumbukan foton dengan inti atom. Kejadian ini menyebabkan foton tidak dapat bergerak bebas di alam semesta. Tentu saja proton pun bisa berinteraksi dengan elektron untuk membentuk atom hidrogen. Namun, dengan cepat atom hidrogen yang terbentuk ini bisa terurai lagi, karena temperatur alam semesta masih panas.

Barulah pada saat temperatur alam semesta sudah menurun hingga sekira 3000 K, pembentukan atom hidrogen menjadi jauh lebih banyak daripada penghancurannya. Maka, foton pun menjadi tidak banyak bertumbukan lagi dengan elektron dan inti atom, sehingga dapat bergerak bebas di alam semesta. Dengan kata lain, radiasi tidak berinteraksi lagi dengan materi. Kejadian pada saat usia kosmik sekira 380.000 tahun setelah big bang ini disebut dengan nama rekombinasi hidrogen (atau pembentukan hidrogen) atau decoupling (radiasi terlepas dari materi) atau yang lebih kita kenal dengan nama pembentukan CMBR.

Mengapa CMBR? Karena singkatan ini menunjukkan identitas dirinya. Kata radiation menunjukkan, ia adalah berupa cahaya atau foton yang berasal dari alam semesta (cosmic) dini. Sejak terlepas dari materi, ia membanjiri alam semesta ini (karena ia dapat bergerak bebas di alam semesta), sehingga ketika dideteksi ia seperti datang dari arah manapun di alam semesta tanpa bergantung arah dan besarnya sama tak bergantung hari, yaitu sekira 270,27 derajat di bawah temperatur pelelehan es atau hanya 2,73 derajat di atas nilai nol mutlak (yang dinyatakan dalam Kelvin atau disingkat K). Tidak bergantung pada arah inilah yang menyebabkan foton CMBR ini terlihat seperti latar belakang dalam sebuah pertunjukan sehingga muncul kata background. Para astronom mendapati, panjang gelombang foton CMBR ini adalah pada rentang panjang gelombang yang disebut microwave. (Pengembangan alam semestalah yang menyebabkan temperatur foton CMBR ini terus menurun, dari asalnya sekira 3000 K menjadi hanya sekira 2,73 K)

Panjang gelombang microwave itu berdekatan dengan panjang gelombang UHF atau VHF, yang sering digunakan stasiun televisi. Karena itulah, sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari pun kita dapat mendeteksi keberadaan radiasi primordial ini. Cobalah atur saluran televisi Anda pada daerah yang tidak ada siarannya. Pada saat itulah, sebanyak kurang lebih 1semut-semut” yang hadir di layar televisi berasal dari CMBR.

Foton CMBR ini pertama kali disadari telah diamati, secara tidak sengaja, oleh A. A. Penzias dan R. W. Wilson di Bell Telephone Laboratories Inc., New Jersey, Amerika dalam bentuk derau pada hasil pengamatan. Pada awalnya mereka tidak tahu sumber derau ini dan malah menyangka berasal dari kotoran burung yang menempel pada instrumen pengamatan. Namun setelah kotoran tersebut dibersihkan, deraunya tetap ada. Barulah setelah berkomunikasi dengan tim kosmologi dari Universitas Princeton, yaitu R. H. Dicke, P. J. E. Peebles, P. G. Roll, dan D. T. Wilkinson, mereka meyakini derau tersebut berasal dari foton CMBR. Akhirnya kedua kelompok ini memublikasikan hasil pengamatan tersebut di Astrophysical Journal.

Itulah ketiga pilar model kosmologi standar berserta penjelasan fisisnya menurut model ini. Satu hal yang pasti, semoga kita termasuk salah seorang yang terlibat aktif di dalam bidang kosmologi ini.***

Catatan:

Hadiah Nobel Fisika tahun 2011 ini dianugrahkan kepada astronom yang membuktikan bahwa alam semesta mengembang dipercepat. Hal ini menunjukkan bahwa kosmologi merupakan salah satu area penelitian yang sangat aktif, menantang dan tentu saja mengasyikkan 🙂

Tulisan ini merupakan tulisan yang pernah dipublikasikan di suplemen Cakrawala, harian umum Pikiran Rakyat, halaman 17, terbit tanggal 12 Agustus 2004 dengan judul “Tiga Pilar Kosmologi Standar” dan “Kosmik Menua Temperatur Menurun”.

Tulisan ini dapat dibaca juga di:

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1098974806  (Tiga Pilar Kosmologi Standar)

dan

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1098974743 (Kosmik Menua, Temperatur Menurun)

Ayo, Kita Amati Hilal Penentu Awal Ramadhan 1432 H

Teramatinya Hilal Ramadhan 1432 H dengan kamera digital dari Indonesia akan menjadi salah satu Hilal rekor dunia!

Ramadhan 1432 H sudah semakin dekat dan banyak orang yang bertanya, kapan shaum Ramadhan kali ini dimulai? Secara kenegaraan penentuan awal shaum Ramadhan dinyatakan dari hasil sidang isbat Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama (BHR-Kemenag). Dasar sidang isbat itu adalah hasil hisab dan rukyat para ahli falak, ormas-ormas islam dan institusi lain yang terkait. Menurut informasi BHR-Kemenag [1], sidang isbat sendiri akan dilaksanakan pada 31 Juli 2011 untuk menentukan apakah shaum Ramadhan 1432 H nanti akan dimulai pada 1 Agustus 2011 ataukah pada 2 Agustus 2011.

Terlepas dari proses kenegaraan tersebut, secara astronomis, Hilal penentu awal bulan Ramadhan 1432 H ini memang menantang untuk diamati. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tinggi Hilal dari horizon teramati saat Matahari terbenam di Indonesia pada 31 Juli 2011 adalah antara 4,55o sampai dengan 6,50o [2]. Pada Gambar 1 pula ada istilah konjungsi geosentrik : Ahad, 31 Juli 2011, pukul 1 : 40 WIB. Konjungsi geosentrik atau konjungsi atau lebih dikenal dengan ijtima’ adalah peristiwa ketika Bulan dan Matahari berada pada bujur ekliptika yang sama. Pada saat tersebut hampir seluruh cahaya Matahari yang dipantulkan Bulan tidak menghadap ke Bumi, sehingga Bulan disebut dalam fase bulan baru atau bulan mati. Peristiwa ini bersama waktu Matahari terbenam dan posisi Hilal saat Matahari terbenam adalah tiga poin penting yang terkait dengan waktu harus dilakukannya pengamatan atau rukyat Hilal. Untuk mengetahui hal itu, tentunya harus diketahui pula waktu Matahari terbenam di Indonesia pada 31 Juli 2011. Dari hasil perhitungan, waktu terbenam Matahari di Indonesia pada 31 Juli 2011 terjadi antara pukul 17 : 37 WIT di Merauke sampai dengan pukul 18 : 56 WIB di Sabang. Dari perbandingan waktu konjungsi dan waktu terbenam Matahari tersebut dapat disimpulkan konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam di Indonesia. Karena itu, rukyat Hilal penentu awal bulan Ramadhan 1432 H tersebut dilakukan pada tanggal 31 Juli 2011.

Gambar 1. Peta ketinggian Hilal dari horizon teramati saat Matahari terbenam tanggal 31 Juli 2011 di Indonesia. Sumber: BMKG [2].

Dengan tinggi Hilal antara 4,55o sampai dengan 6,50o tersebut banyak yang mengatakan Hilal penentu awal Ramadhan 1432 H akan mudah untuk diamati. Ini karena Hilal dengan tinggi 2o pun ada yang mengklaim bisa mengamatinya. Namun, berdasarkan rekapitulasi rukyat Hilal yang diakui di dunia internasional, misalnya oleh Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP), ternyata Hilal dengan ketinggian di bawah 6,50o sangat sulit untuk diamati. Itupun ternyata bukan tinggi Hilal yang dicatat dalam rekor ICOP, tetapi aspek lain pada posisi Hilal, yaitu elongasi, umur Bulan dan lag. Menurut ICOP, elongasi adalah besar sudut yang terentang antara Bulan dan Matahari saat diamati dari Bumi. Adapun umur Bulan adalah selisih antara teramatinya Hilal dengan waktu konjungsi. Sementara lag adalah selisih antara waktu terbenam Bulan dengan waktu terbenam Matahari.

Hingga saat ini, rekor dunia hasil rukyat Hilal yang diakui oleh ICOP untuk pengamatan dengan kamera digital adalah 8.37o untuk kategori elongasi terkecil, 16 jam 11 menit untuk kategori umur termuda dan 20 menit untuk kategori lag tercepat [3]. Dengan definisi yang sedikit berbeda, BMKG menyatakan bahwa elongasi Hilal penentu awal Ramadhan 1432 H di Indonesia adalah antara 7,90o sampai dengan 9,80o, umur Bulan antara 13,90 jam sampai dengan 17,30 jam dan lag antara 23 menit sampai dengan 32 menit. Dengan memperhatikan informasi-informasi tersebut, dapat dikatakan jika Hilal penentu Ramadhan 1432 H teramati dengan kamera digital dari Indonesia, Hilal tersebut akan menjadi salah satu Hilal rekor dunia, untuk kategori elongasi terkecil atau umur Bulan termuda.

Untuk mengamati Hilal di daerah rekor dunia itu tentu saja diperlukan kondisi cuaca yang cerah, khususnya di horizon Barat. Ini karena keteramatan Hilal bukan saja bergantung pada beberapa faktor astronomis di atas, tetapi juga pada faktor-faktor meteorologis, seperti tranparansi atmosfer di horizon Barat, temperatur, kelembapan dan tekanan atmosfer lokasi pengamatan. Sebagaimana diinformasikan BMKG, pada bulan Juli ini Indonesia sudah memasuki musim kemarau [4]. Hal ini tentu saja meningkatkan kemungkinan teramatinya Hilal penentu awal bulan Ramadhan 1432 H tersebut dan diharapkan Hilal tersebut akan teramati.

Dengan keadaan di atas, apa yang sebaiknya dilakukan jika Hilal yang berpotensi menjadi Hilal rekor dunia tersebut akan diamati? Pemilihan lokasi yang tepat adalah hal utama yang harus dilakukan dalam pengamatan Hilal ini. Syarat lokasi tersebut adalah tidak terhalangnya arah pandangan pengamat ke horizon Barat. Lokasi ini tidak perlu di pinggir laut, karena di atas bukit atau atap gedung tinggi pun bisa. Namun demikian, jika pengamat berada di gedung yang tinggi, yang biasanya berada di kota besar, efek polusi kota harus diperhitungkan. Ini karena polusi akan mempengaruhi jarak pandang ke horizon Barat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi keteramatan Hilal itu sendiri.

Ada baiknya dilakukan juga orientasi di lokasi pengamatan, khususnya arah terbenam Matahari dan posisi Bulan saat dan setelah Matahari terbenam. Orientasi ini sebaiknya dilakukan sejak sehari sebelumnya agar posisi Matahari terbenam juga posisi Bulan pada tanggal 31 Juli 2011 dapat diperkirakan dengan baik. Selain itu, orientasi pun dapat dilakukan dengan menggunakan planetarium astronomi yang bebas diakses di internet, misalnya stellarium [5]. Dengan menggunakan perangkat lunak tersebut, posisi Matahari dan Bulan pada suatu waktu dari lokasi yang ditentukan dapat disimulasikan dengan baik. Misalnya, pada saat Matahari terbenam tanggal 31 Juli 2011, posisi Bulan adalah di sebelah kiri-atas Matahari. Jika dinyatakan dalam orientasi angka-angka jam, “tanduk-tanduk” Hilal adalah di angka 2 dan angka 8, dengan pusat sabit ada di angka 5.

Saat orientasi tersebut, perlu dipersiapkan juga peralatan yang akan digunakan untuk mengamati Hilal. Beragam peralatan bisa digunakan dalam pengamatan Hilal ini, mulai dari yang tradisional, seperti gawang lokasi, sampai yang paling modern, misalnya teleskop terkomputerisasi. Teleskop tersebut bisa digunakan dengan mata saja atau dengan dipasangkan detektor, misalnya webcam, kamera digital biasa, kamera DSLR atau detektor khusus astronomi, yang dikenal dengan CCD astronomi. Pemasangan peralatan tersebut sebaiknya dilakukan sejak siang agar tidak terburu waktu Matahari terbenam. Untuk teleskop yang terkomputerisasi, pengarahan dan penggerakkan teleskop itu sebaiknya dikalibrasi dulu ke Matahari agar saat diarahkan ke posisi Bulan bisa otomatis mengarah dan untuk selanjutnya mengikuti gerak Bulan dengan akurat.

Pengamatan Hilalnya sendiri dilakukan setelah Matahari terbenam. Ini karena Hilal sangat redup, ketebalannya sangat tipis, dan sulit dibedakan dengan kecerlangan langit di sekitarnya serta waktu pengamatan yang tidak lama. Pengamatannya sendiri memerlukan kondisi langit yang agak redup dan hal ini terjadi beberapa menit setelah Matahari terbenam. Namun, kondisi ini dibatasi oleh waktu terbenam Bulan, yang biasanya kurang dari 30 menit sejak Matahari terbenam. Selain itu, faktor atmosfer yang biasanya berubah cepat akan semakin menyulitkan pengamatan Hilal tersebut. Karena itu, pengamatan Hilal memang sangat menantang dan memerlukan perencanaan yang matang plus kondisi cuaca yang mendukung.

Jika proses di atas tidak dapat dilakukan sendiri, Hilal tersebut masih dapat diamati dari rumah atau kantor atau tempat lainnya, asalkan ada akses internet. Ya, dengan diaksesnya situs http://hilal.kominfo.go.id atau http://bosscha.itb.ac.id/hilal, sama halnya dengan Hilal tersebut diamati secara langsung dari lokasi pengamatan. Ini karena keduanya adalah situs informasi resmi jejaring 14 titik pengamatan Hilal online yang real-time di Indonesia. Peralatan yang digunakan dalam rukyat Hilal online itu sendiri adalah teleskop terkomputerisasi dan detektor yang dipadupadankan dengan jaringan internet agar datanya bisa tayang langsung. Lokasinya pun tersebar, mulai dari Timur Indonesia, yaitu Biak-Papua, Indonesia bagian Tengah, seperti Kupang-NTT dan Denpasar-Bali, sampai ujung Barat Indonesia, yaitu Lhok Nga-Aceh. Jika Hilal itu berhasil dideteksi keberadaannya di layar komputer selama tayang langsung tersebut, maka Hilal rekor dunia pun bisa terpecahkan! Karena itu, ayo kita amati Hilal penentu awal Ramadhan 1432 H!

Referensi:

[1] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7575. Diakses pada 25 Juli 2011.

[2] http://data.bmkg.go.id/share/Dokumen/informasi_hilal_ramadhan_1432h.pdf. Diakses pada 20 Juli 2011

[3] http://www.icoproject.org/record.html. Diakses pada 25 Juli 2011.

[4] http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/DataDokumen/Ikhtisar_perkembangan_MK_11_sd_DasarianII_Juni%2011.pdf. Diakses pada 25 Juli 2011

[5] http://www.stellarium.org/. Diakses pada 25 Juli 2011

Pendidikan Sains Kita

Kita patut bersyukur dengan sejumlah prestasi yang telah diraih oleh para duta sains kita di olimpiade sains tingkat internasional, sesuai dengan mata ajaran yang mereka ikuti. Contoh yang terbaru adalah diraihnya dua medali emas bidang IPA pada Olimpiade Matematika dan Sains Internasional tingkat SD yang telah berlalu (Republika, 4 Desember 2004). Hal ini menunjukkan bahwa potensi bangsa ini tidak kalah dari bangsa lain.

Selain itu, adanya pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Ilmu Pengetahuan Indonesia oleh LIPI menunjukkan pandangan kita telah mulai diarahkan pada penguasaan ilmu-ilmu dasar. Pencanangan ini pun sejalan dengan Visi IPTEK 2025 (SK Menristek No 111/M/Kp/IX/2004) yang menargetkan Indonesia termasuk ke dalam 25 negara termaju di dunia pada 20 tahun ke depan. Tentunya penguasaan ilmu-ilmu dasar akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan dalam percaturan dunia, karena negara-negara yang kuat saat ini adalah yang menguasai ilmu-ilmu dasar dan memanfaatkannya untuk kecerdasan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyatnya serta kemajuan negerinya.

Namun, di samping kesuksesan-kesuksesan yang telah diraih, kita pun masih harus mengurut dada demi melihat kenyataan di lapangan, khususnya pendidikan sains di tingkat dasar dan menengah. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan kemampuan IPA siswa SLTP pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta membuktikan hal ini. Karena itu, perbaikan pendidikan sains di tingkat dasar dan menengah mutlak adanya. Termasuk di dalamnya adalah pengimplementasian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam pembelajaran sains. Di dalam tulisan ini dipaparkan beberapa permasalahan menonjol dalam pendidikan sains selama ini dari sudut pandang praktisi langsung (pengajar sains) dan beberapa solusi yang ditawarkan, yang telah dan sedang dilaksanakan oleh penulis dan rekan-rekan.

Tiga permasalahan

Dari sekian banyak permasalahan pendidikan saat ini, setidaknya ada tiga permasalahan menonjol di pendidikan sains. Pertama, pembelajaran sains masih terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu yang menempatkan guru sebagai pusat dan siswa sebagai “gelas kosong” yang harus siap diisi sesuai kemampuan guru. Permasalahan ini biasanya satu paket dengan permasalahan kedua, yaitu masih berlangsungnya pematematikaan sains.

Dalam proses pembelajaran, biasanya murid duduk dengan manis, mendengarkan dan mencatat konsep-konsep abstrak yang disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Lalu, konsep itu yang biasanya sudah dalam bentuk persamaan matematika, diterapkan pada kasus-kasus khusus. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru. Namun, pada saat ada soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun kesulitan dalam menyelesaikannya. Ini karena mereka bukan belajar memahami konsep, tetapi mencatat konsep.

Konsekuensi lanjutannya adalah terjadinya proses alienasi siswa dari lingkungannya. Siswa tidak paham untuk apa sains itu dipelajari, karena konsep-konsep sains yang mereka pelajari tidak bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, mempelajari sains merupakan beban bagi mereka dan akhirnya siswa pun merasa sains merupakan momok yang menakutkan dalam pembelajarannya.

Padahal, semestinya proses pembelajaran sains dimulai dari mengamati fenomena-fenomena alam secara terstruktur. Lalu menyimpulkan penyebab fenomena-fenomena alam tersebut. Setelah itu, barulah memprediksikan fenomena alam yang akan terjadi berdasarkan simpulan tadi. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang bersifat induktiflah yang ditekankan di sini, walaupun sifat deduktif tidak diabaikan.

Proses pembelajaran yang menekankan pengamatan secara terstruktur itu tentunya memerlukan guru yang memahami bidang keilmuannya secara mendalam, luas, dan menjiwainya serta menguasai ilmu pedagogi secara baik. Karena itu peningkatan kompetensi guru, baik dalam pemahaman akan mata ajarannya, juga dalam pedagoginya merupakan sesuatu yang mutlak. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kesejahteraannya, karena kualitas guru sangat ditentukan oleh keduanya plus proses rekruitmen dan pembinaannya. Semua ini agar dia lebih memahami ilmunya dan membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik, bergairah, menyenangkan, dan menantang siswa. Hal yang lebih mendasar adalah agar terjadinya pergeseran pola pikir guru dalam pembelajaran sains. Di lain pihak, siswa pun mesti didorong untuk menjadi pembelajar sains yang aktif, kreatif, dan kritis serta menyadari bahwa mempelajari sains merupakan ibadah dan kebutuhannya.

Banyak guru yang mematematikakan sains beralasan pembelajaran yang mengedepankan aspek induktif membutuhkan waktu banyak dan terkadang muncul hal-hal yang di luar dugaan semula. Padahal, mestilah disadari bahwa dari hal-hal yang tidak terduga itu biasanya pemahaman kita akan alam menjadi lebih komprehensif. Terkadang kemajuan ilmu pengetahuan hadir dari hal-hal seperti ini. Sebagai contoh adalah penemuan radioaktivitas spontan secara tidak sengaja oleh Becquerel dan pendeteksian radiasi latar belakang kosmik (cosmic microwave backround radiation) yang tidak direncanakan oleh Penzias dan Wilson. Sumbangsih mereka pada kemajuan ilmu pengetahuan itu pun diganjar dengan hadiah Nobel Fisika. Selain itu, bukankah dalam kurikulum KBK yang diutamakan adalah kompetensi siswa dan bukan habis tidaknya materi yang dipelajari? Jika dalam waktu yang ditentukan, siswa dianggap telah kompeten, sementara materi belum habis pembelajaran pun dapat dilanjutkan kepada tema yang lain.

Alasan lain berupa minimnya fasilitas laboratorium dapat disiasati dengan kreativitas guru dan siswa, karena sesungguhnya laboratorium pembelajaran sains adalah alam raya ini. Alam raya ini menyuguhkan beragam fenomena yang menarik dan terkadang penuh misteri. Terlebih sebenarnya bukan lengkap tidaknya laboratorium, tetapi efektif tidaknya penggunaan fasilitas pembelajaran sains tersebut. Begitu juga dengan fasilitas baru dalam pembelajaran, yaitu jejaring, misalnya situs pendidikan dari Diknas, http://www.e-dukasi.net, harus dimanfaatkan secara maksimal. Dengan kreativitas guru dan siswa, secara lambat laun pembelajaran sains akan bergeser kepada siswa sebagai subjek dan guru sebagai fasilitator, sehingga siswa terkondisikan menjadi kritis, kreatif, dan dapat mengeksplorasi alam sesuai dengan kemampuannya.

Apabila ada ketimpangan, misalnya ada siswa yang cepat dalam belajar sementara yang lain lambat, maka siswa yang cepat itu haruslah didorong untuk menjadi tutor sebaya agar beban psikologis siswa yang lambat terkikis sedikit demi sedikit dan siswa yang cepat dalam pembelajaran termotivasi untuk terus maju. Hasil sampingan pun akan hadir, yaitu berkurangnya beban guru dalam pembelajaran yang diakibatkan tidak proporsionalnya rasio guru dan siswa. Tentu saja untuk jangka panjang, jumlah mata ajaran peminggu haruslah dibuat lebih sedikit namun efisien agar pembelajaran lebih efektif dan rasio guru dan siswa harus dibuat proporsional.

Namun, meski kedua permasalahan itu dapat diatasi, jika permasalahan yang ketiga masih tetap ada, harapan kita agar sains lebih menarik untuk dipelajari akan lambat untuk diraihnya. Permasalahan yang dimaksud adalah masih kurangnya apresiasi masyarakat kita akan prestasi di bidang sains sebagaimana halnya pada bidang lain; seni tarik suara misalnya. Contoh nyata adalah gegap gempitanya animo masyarakat akan Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol (II), atau Kontes Dangdut TPI (KDI) daripada terhadap olimpiade sains. Jika saat ini kita bertanya kepada khalayak, “Siapakah yang lebih Saudara ketahui, Masyhur Azis Hilmy ataukah Siti Rahmawati?” Yakinlah jawabannya adalah Siti Rahmawati. Padahal prestasi Masyhur tidak kalah dari Siti, yaitu meraih first prize (setingkat emas) dalam Olimpiade Astronomi Internasional 2004 di Ukraina. Bagaimana para siswa akan tertarik untuk berprestasi di bidang sains, jika nama orang-orang yang berprestasi di bidang itu pun mereka tidak tahu? Bahkan bisa jadi minat yang ada akan layu sebelum waktunya jika dukungan untuk menumbuhkembangkan potensi para bunga bangsa ini minim.

Proses sosialisasi

Karena itulah pensosialisasian sains serta orang-orang yang berprestasi di dalamnya kepada khalayak mestilah dengan gegap gempita. Salah satunya bisa dilakukan dengan turun gunungnya para saintis dari menara gadingnya; sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban mereka kepada rakyat. Tentu saja hal ini berkaitan dengan ruang tempat mereka mentransferkan ilmunya kepada masyarakat dan masih jauhnya perbedaan rasa bahasa antara orang awam dan para praktisi di bidang olah pikir itu.

Ambil contoh dari bidang kosmologi: alam semesta tipe datar. Para kosmolog seyogianya menjelaskan “alam semesta tipe datar” itu kepada masyarakat di ruang-ruang yang ada agar mereka menjadi tahu. Syukur-syukur bisa tertarik untuk mendalami bidang yang terkenal sains murni itu. Ruang-ruang itu bisa berupa tulisan di media massa, diskusi di media elektronik, bertemu muka dengan para siswa dan khalayak, atau ruang lain yang dikemas sedemikian rupa. Bagi siswa, berdiskusi langsung dengan para saintis akan menjadi hal yang sangat berkesan dan dapat memotivasi mereka untuk berkarier di sini.

Jika ruang-ruang itu masih kurang, diperlukanlah upaya untuk memperluasnya agar akses masyarakat akan ilmu pengetahuan semakin terbuka lebar. Di sinilah, lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian pada bidang sains dapat berperan lebih; bukan hanya menjadi sponsor dalam kegiatan yang terkait dengan sains. Mereka dapat menjadi penghubung konsep-konsep sains yang dipelajari siswa di sekolah dengan sains yang diterapkan di masyarakat. Kerja sama erat lembaga ini dengan sekolah dan masyarakat mutlak adanya agar siswa semakin menyadari bahwa sains itu nyata (bukan sesuatu yang abstrak), yang terbukti dengan dapat diterapkannya sains di kehidupan sehari-hari, dan masyarakat semakin mengapresiasi sains dan orang-orang yang berprestasi di dalamnya. Tentu saja bagi lembaga ini pun ada imbasnya, misalnya semakin mengakarnya kehadiran mereka di masyarakat.

Jika kita memperhatikan kurikulum KBK dengan saksama, sesungguhnya apa yang dipaparkan di atas ada di sana, terlepas dari apa pun kekurangan kurikulum itu. Tetapi kita harus menyadari bahwa selama ini konsep-konsep pendidikan yang telah ada jarang diimplementasikan dengan baik. Jadi, sebagus apapun kurikulum pendidikan, selama pola pikir kita dalam pendidikan sains belum berubah, sejauh itu pula pendidikan sains kita akan terpuruk. Karena itulah, pendidikan sains bukanlah tugas guru semata. Tempatnya pun bukan hanya di ruang-ruang kelas atau laboratorium. Pendidikan sains merupakan hak sekaligus kewajiban kita agar apa yang diharapkan dari pendidikan sains ini, yaitu semakin semakin cerdasnya umat-bangsa ini dapat terwujud. Insya Allah.

Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di harian Republika, 9 Desember 2004.

Tulisan ini ditulis ulang dari: http://www.lipi.go.id/www.cgi?cetakberita&1103004171&&2004&

Supermoon-Perigeemoon

Supermoon atau Perigeemoon?

Beberapa waktu ini ramai dibicarakan suatu fenomena yang disebut dengan Supermoon. Banyak diberitakan bahwa pada 19 Maret 2011 pukul 19 : 10 UT atau 20 Maret 2011 pukul 02 : 10 WIB Bulan akan berada pada jarak terdekatnya dari Bumi dibandingkan posisinya pada 18 tahun terakhir. Tersiar kabar bahwa Bulan pada tanggal 19 Maret 2011 itu akan tampak 6x lebih besar daripada biasanya. Banyak pula dibicarakan fenomena tersebut akan menyebabkan terjadinya bencana. Terlebih, pada 11 Maret 2011 lalu terjadi gempabumi dan tsunami Jepang. Benarkah fenomena ini?

Untuk menjawab benar tidaknya fenomena tersebut, alangkah baiknya kita ketahui dulu definisi Supermoon tersebut. Sebagaimana dikutip situs Wikipedia, Richard Nolle, seorang astrologer (harap dibedakan dengan astronom), mendefinisikan bahwa Supermoon adalah [1,2] “…a new or full moon which occurs with the Moon at or near (within 90% of) its closest approach to Earth in a given orbit.” Selain mendefinisikan Supermoon, ia juga mengaitkan peristiwa tersebut dengan terjadinya bencana di muka Bumi [2]. Inilah definisi Supermoon, yang sebenarnya tidak begitu diterima di komunitas ilmiah, terutama karena dikaitkannya peristiwa astronomis dengan terjadinya bencana di muka Bumi. Meskipun demikian, mari kita bahas tinjauan astronomis fenomena Supermoon ini dan terkait tidaknya ia dengan peristiwa bencana alam di muka Bumi.

Berdasarkan definisinya tersebut Supermoon hanya akan terjadi pada saat bulan dalam fase bulan baru atau purnama dan jaraknya dari Bumi di sekitar perigee. Jika kita perhatikan ternyata periode rata-rata bagi Bulan untuk berubah dari fase purnama ke purnama berikutnya atau dari fase bulan baru ke bulan baru berikutnya (disebut juga periode sinodis Bulan) adalah 29,53 hari. Karena Bulan mengelilingi Bumi dalam orbit ellips, maka pada suatu saat bulan akan berada pada titik terdekatnya dari Bumi dan titik terdekat ini disebut perigee. Adapun titik terjauhnya disebut apogee. Periode rata-rata revolusi Bulan dari titik apogee ke titik apogee lagi (disebut periode anomalistik) saat ia mengelilingi Bumi adalah 27,55 hari.

Dari dua macam periode tersebut dapat kita ketahui bahwa tidak setiap bulan baru atau purnama terjadi ketika bulan di sekitar perigeenya. Hanya pada waktu tertentu saja hal ini bisa terjadi. Anggap hari ini bulan purnama bertepatan dengan posisi Bulan di perigee dan kita ingin mengetahui kapan lagi peristiwa tersebut akan terjadi. Untuk melakukan hal ini kita kalikan sajaperiode anomalistik dengan suatu angka, katakanlah X, dan periode sinodis dengan suatu angka lain, misalnya Y. Aturannya adalah hasil perkalian antara keduanya haruslah menghasilkan angka yang hampir berdekatan. Ternyata, setelah dilakukan perhitungan, hasilnya adalah nilai X sekitar 239 dan nilai Y sekitar 223. Ini artinya Bulan harus mengelilingi Bumi sebanyak 239 kali dihitung dari perigee dan fase purnama Bulan harus berulang sebanyak 223 kali agar peristiwa supermoon itu akan terjadi lagi. Jika dihitung, peristiwa supermoon itu dapat diprediksikan berulang setiap 18 tahun 10 hari 22,5 jam. Jika hal ini diterapkan pada supermoon 19 Maret 2011, maka supermoon yang berasosiasi dengan supermoon tanggal ini adalah 30 Maret 2029 pukul 5 : 41 UT. Kita juga bisa merunut peristiwa supermoon pada masa lalu yang berasosiasi dengan supermoon 19 Maret 2011. Ternyata hasilnya adalah supermoon 18 tahun yang lalu terjadi pada 8 Maret 1993 pukul 8 : 36 UT.

Jika supermoon yang berasosiasi tersebut hanya terjadi 18 tahun sekali, apakah di antara tanggal 8 Maret 1993 dan 19 Maret 2011 serta antara tanggal 19 Maret 2011 dan 30 Maret 2029 tidak ada supermoon? Ternyata jawabannya adalah terjadi supermoon juga. Mengapa bisa ada supermoon lain di antara dua supermoon? Peristiwa ini mirip dengan gerhana Bulan atau Matahari, yang keterasosiasian antara satu gerhana dengan gerhana lainnya dinyatakan dengan siklus Saros, yang lamanya adalah sekitar 18 tahun 11 hari 8 jam.  Meskipun satu gerhana berasosiasi dengan gerhana yang terjadi 18 tahun kemudian, kejadian gerhana Bulan minimal terjadi 2 kali dalam setahun. Ini karena dua gerhana yang berdekatan itu tidak berasosiasi. Demikian juga dengan peristiwa supermoon ini, meskipun antara dua supermoon yang berasosiasi terjadi setiap 18 tahun sekali, di antara dua supermoon itu ada supermoon lain yang tidak berasosiasi dengan kedua supermoon tersebut. Dan ternyata, hampir setiap tahun terjadi peristiwa supermoon! Hal ini lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Adapun pada tabel 2 diperlihatkan fenomena supermoon pada 18 tahun terakhir yang bertepatan dengan fase purnama. Pada tabel 3 diperlihatkan prediksi fenomena supermoon 18 tahun ke depan yang bertepatan dengan fase purnama.

Tabel 1. Fenomena Supermoon 17 tahun terakhir dan prediksi 18 tahun ke depan
Tabel 2. Fenomena Supermoon yang bertepatan dengan fase purnama untuk 17 tahun terakhir

Tabel 3. Prediksi Fenomena Supermoon yang bertepatan dengan fase purnama untuk 18 tahun ke depan

 

Berbeda dengan siklus Saros, yang dapat digunakan untuk memprediksi waktu dan informasi lain yang terkait dengan gerhana Matahari atau gerhana Bulan, siklus supermoon ini tidak demikian adanya. Siklus supermoon ini tidak bisa dengan tepat memprediksikan supermoon yang berasosiasi dengan supermoon pada suatu waktu. Ini karena selisih jarak antara dua supermoon yang berasosiasi bisa mencapai 100 km. Karena itu, supermoonnya bisa bergeser ke bulan lainnya. Sebagai contoh adalah kasus supermoon tahun 1995, yang terjadi pada 22 Desember 1995 pukul 10:08 UT saat fase bulan baru. Dengan mengacu siklus supermoon, semestinya supermoon yang berasosiasi dengan supermoon ini akan terjadi pada 1 Januari 2014 pukul 21:01 dengan jarak 356921 km. Ternyata pada tahun 2014  ada fenomena supermoon lain dengan jarak yang lebih dekat, yaitu yang terjadi pada 10 agustus 2014 pukul 17:44 UT saat fase purnama dengan jarak 356896 km. Karena itulah, sesungguhnya, dalam satu tahun pun bisa ada 2 fenomena supermoon dengan jarak yang hampir berdekatan! Adapun untuk kasus fenomena supermoon yang berasosiasi dengan supermoon tahun 2002 s.d. 2004, yaitu supermoon tahun 2020 s.d. 2024, ternyata masing-masing bergeser satu siklus purnama ke depan, sebagaimana dapat dibandingkan pada tabel 2 dan 3 di atas.

Baik dari tabel 1, tabel 2 maupun tabel 3, kita ketahui juga ternyata fenomena supermoon tahun 2011 ini bukanlah yang terdekat dalam 18 tahun terakhir. Dalam 18 tahun terakhir, ternyata ada fenomena supermoon lain yang jaraknya lebih dekat 10 km daripada supermoon tahun ini. Fenomena itu terjadi pada tahun 2008. Hanya saja bulan saat di perigee pada tahun 2008 tersebut terjadi hampir 5 jam setelah fase puncak purnamanya. Sementara  untuk tahun ini, bulan di perigee terjadi hampir 1 jam setelah puncak purnamanya.

Selain supermoon 2008, ternyata ada supermoon lain yang jarak Bulan-Buminya lebih dekat daripada tahun ini. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2016 dan 2018. Khusus untuk supermoon tahun 2016, ternyata peristiwa tahun tersebut adalah peristiwa ketika Bulan dengan jarak terdekat untuk waktu 41 tahun, yaitu sejak supermoon 1975. Supermoon 1975 ini terjadi pada 25 Februari 1975 pukul 21:58 UT dengan jarak 356519 km dan terjadi hampir 3 jam sebelum puncak purnamanya. Supermoon dengan jarak seperti ini akan kembali terjadi pada supermoon 2036, yaitu saat perigee-nya terjadi pada 13 Januari 2036 pukul 8:49 dengan jarak 356518 dan terjadi hampir 2 jam sebelum puncak purnamanya.

Supermoon dan Bencana Alam

Sebagaimana definisinya, para astrologer (bukan astronom), menyatakan bahwa saat terjadi supermoon, maka akan terjadi bencana. Contoh bencana yang banyak diberitakan adalah peristiwa bencana gempabumi dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 pukul 07:58 WIB (= pukul 00:58 UT). Contoh terbaru yang banyak diberitakan adalah peristiwa gempabumi dan tsunami Jepang 11 Maret 2011 pukul 14:46 Waktu Jepang ( = pukul 07:46 UT). Statemen yang banyak beredar adalah gempabumi dan tsunami Aceh terjadi 2 minggu sebelum supermoon pada Januari 2005. Adapun gempabumi dan tsunami Jepang terjadi 8 hari sebelum supermoon 19 Maret 2011. Benarkah keterkaitan ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengingat bahwa periode anomalistik terjadi selama 27,55 hari. Dalam waktu 27,55 hari ini tentu saja Bulan akan melalui titik perigee dan apogeenya masing-masing satu kali. Jika dimisalkan terjadi peritiwa supermoon, maka kita dapat meprediksikan secara kasar bahwa hampir 2 minggu sebelum dan sesudah hari ini, Bulan akan berada di sekitar titik terjauhnya (apogee). Dengan demikian, gempabumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang terjadi dua minggu sebelum supermoon pada Januari 2005 terjadi pada saat bulan hampir di titik terjauhnya. Dan berdasarkan perhitungan, memang demikianlah yang terjadi. Pada saat gempabumi dan tsunami Aceh terjadi, jarak Bulan adalah 402046 km. Bulan di apogee sendiri terjadi pada 27 Desember 2004  pukul 19:16 UT dengan jarak 406487. Dengan memperhatikan dekatnya waktu saat gempabumi terjadi dan saat Bulan saat di apogee, dapatlah disimpulkan gempabumi dan tsunami Aceh terjadi pada saat Bulan hampir di sekitar apogeenya. Karena itu, jika ditinjau dari jaraknya, keterkaitan gempabumi dan tsunami Aceh dengan supermoon pada Januari 2005 tidaklah berdasar sama sekali. Demikian juga dengan gempabumi dan tsunami Jepang. Pada saat gempabumi terjadi, jarak Bumi-Bulan adalah 396132 km. Jarak ini lebih jauh daripada jarak rata-rata Bumi-Bulan, yaitu 384400 km.

Jika demikian halnya, bagaimana dengan bencana alam lain yang diklaim terjadi karena supermoon? Bisa saja hal tersebut terjadi pada waktu bersamaan dengan peristiwa supermoon namun antara keduanya tidak ada keterkaitan sama sekali. Bisa juga berkaitan dengan tingkat keterkaitan yang belum diketahui. Untuk menyimpulkan terkait tidaknya antara kedua hal tersebut, haruslah dilakukan telaah yang lebih dalam bukan hanya dari segi supermoon, namun juga segi lainnya, misalnya struktur geofisika Bumi. Namun demikian, kewaspadaan untuk menghadapi bencana apapaun dan saat kapanpun tetaplah harus dikedepankan.

Contoh kewaspadaan ini adalah bagi penduduk di daerah pantai. Ini karena posisi dan fase Bulan sangat mempengaruhi pasang surut air laut. Jika jarak Bumi-Bulan berada di sekitar perigee dan fase Bulan adalah purnama atau bulan baru, efeknya pada pasang surut air laut akan lebih besar dibandingkan dengan kondisi fase purnama atau bulan baru tetapi jaraknya bukan di sekitar perigee. Tentu saja, efek lain pun mesti diperhatikan dalam pasang surut air laut ini, misalnya angin laut yang akan menyebabkan pasang naik dan angin darat yang akan menyebabkan pasang surut. Terlebih, jika kondisi pasang surut ini disertai dengan cuaca buruk. Tentu saja kewaspadaan harus lebih ditingkatkan lagi.

Kondisi Tampakan Bulan saat Supermoon

Apakah yang terjadi dengan Bulan saat supermoon berlangsung? Tidak ada yang berubah! Hanya tampakannya saja dari Bumi menjadi terlihat lebih besar daripada biasanya, jika kita dapat melihatnya. Tentu saja kita tidak akan bisa melihat supermoon saat fase bulan baru. Kita hanya dapat melihat efeknya pada gerhana Matahari, jika peristiwa supermoon ini bertepatan dengan gerhana Matahari. Karena itu, peristiwa supermoon akan bagus untuk disaksikan jika fase bulannya purnama. Untuk alasan inilah, pada tabel 2 dan tabel 3 di atas hanya ditampilkan fenomena supermoon saat fase purnama saja.

Sebagai contoh adalah peristiwa supermoon 19 Maret 2011. Diameter sudut Bulan saat supermoon 19 Maret 2011 ini adalah 33,5’ atau setengah derajat lebih 3,5’. Nilai ini sebanding dengan sekitar 14% lebih besar daripada diameter sudut saat bulan di apogee. Jika kita mengamati bulan purnama dengan mata tanpa bantuan teleskop, perbedaan tampakan sebesar itu tidak akan terlalu terlihat. Lain halnya jika kita mengamatinya dengan menggunakan alat bantu teleskop, kita bisa lebih jelas melihat detail-detil permukaan Bulan. Karena jaraknya yang lebih dekat dan tampakannya yang lebih besar, konsekuensinya Bulan akan terlihat lebih cerlang daripada biasanya. Berdasarkan perhitungan, Bulan saat supermoon ini lebih cerlang sekitar 30 % daripada kecerlangan Bulan saat di apogee.

Khusus untuk supermoon 19 Maret 2011 yang terjadi pada pukul 19:10 UT atau 20 Maret 2011 pukul 02:10 WIB, kondisi bulan saat tersebut masih di daerah atas (tidak dekat horizon apalagi terbenam). Hal ini sangatlah menguntungkan bagi pengamat di indonesia, karena dengan demikian jarak pengamat di permukaan Bumi terhadap Bulan akan semakin pendek lagi. Sebagai contoh adalah untuk pengamat di kota Jakarta. Berdasarkan perhitungan, ternyata saat supermoon itu, jarak pengamat di Jakarta terhadap Bulan adalah sekitar 351290 km atau lebih dekat 5287 km dibandingkan untuk pengamat yang diandaikan di pusat Bumi. Karena itu, Bulan akan terlihat lebih besar lagi dan lebih cerlang lagi!

Selamat menikmati Supermoon dan semoga langit cerah!

Nb: Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara sains astronomi, siklus supermoon dapatlah diprediksi. Namun demikian, peristiwa supermoon belum tentu berkaitan dengan bencana meskipun kejadiannya pada waktu yang hampir bersamaan. Karena itu, sebenarnya saya lebih suka menyebut supermoon ini dengan perigeemoon karena kandungan ilmiahnya lebih jelas. Hanya saja, istilah supermoon sepertinya sudah ngetrend, maka mau tidak mau saya mengikuti istilah yang lebih umum. Namun, tetap dengan menekankan bahwa meskipun secara sains astronomi supermoon bisa diprediksi, efeknya pada bencana belum tentu berkaitan.

Referensi:

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Supermoon diakses tanggal 19 Maret 2011

[2] http://www.astropro.com/features/articles/supermoon/ diakses tanggal 19 Maret 2011

PETA ARAH KIBLAT DARI INDONESIA

Berikut adalah peta arah kiblat dari Indonesia. Peta arah kiblat yang dimaksud di sini adalah daerah-daerah di Indonesia yang memiliki besar sudut arah kiblat yang sama. Besar sudut arah kiblat ini dinyatakan dari titik Utara Geografis (True North) menyusuri bidang Horizon ke arah Timur dan seterusnya hingga ke besar sudut yang dimaksud.

Peta yang dihasilkan ini dihitung dengan menggunakan trigonometri bola dan hasilnya konsisten dengan peta yang dihasilkan dari perangkat lunak Accurate Times v5.2.5 (http://www.icoproject.org/accut.html). Peta yang dihasilkan dengan Accurate Times v5.2.5 tersebut berlaku secara global untuk seluruh dunia. Namun, peta tersebut tidak mendetail untuk negara tertentu. Karena itu, peta-peta yang dihasilkan di sini adalah pelengkap terhadap peta global tersebut, khusus untuk wilayah Indonesia.

Peta yang dihasilkan di ini dapat juga digunakan untuk memperkirakan arah kiblat dari suatu lokasi di wilayah Indonesia. Tentu saja, jika kita ingin mengetahui arah kiblat dari suatu lokasi secara lebih presisi, sebaiknya dilakukan pengukuran secara langsung di lokasi tersebut dengan menggunakan instrumen tertentu. Selain itu, kita juga dapat memanfaatkan laman www.qiblalocator.com atau http://rukyatulhilal.org/qiblalocator/index.html. Adapun jika kita ingin menghitung arah kiblat dari suatu lokasi, laman http://www.rukyatulhilal.org/kalkulator-kiblat/index.html dapat dimanfaatkan.

Informasi lebih lengkap mengenai dalil-dalil pentingnya arah arah kiblat bagi umat Islam, trigonometri bola, dan metode-metode penentuan serta pengukuran arah kiblat dapat dilihat di http://rukyatulhilal.org/arah-kiblat/index.html.

Silakan klik pada peta yang dimaksud, jika Anda ingin memperoleh peta dengan ukuran yang lebih besar.

Menyibak Tirai Ketaksempurnaan, Menjejaki Titian Keabadian